banner 728x250
Lahat  

Merasa Dirugikan “Debt Collector”, LBH Konsumen SUMSEL Siap Dampingi Debitur

Beligat.com, Lahat – Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Konsumen Sumatera Selatan, melalui sekretarisnya, Gilang K.R, SH mengapresiasi langkah tegas Polda Sumatera Selatan (SUMSEL) dalam memerangi tindak premanisme di wilayah hukum Sumatera Selatan khususnya Debt Collector yang sangat meresahkan konsumen, kiranya juga dapat diikuti oleh polres se- Sumsel, ujarnya.

Gilang menegaskan bahwa debt collector tidak dibenarkan menarik paksa kendaraan debitur karena telah diatur dalam Undang-Undang Fidusia.

“Intinya debt collector tidak diperbolehkan melakukan aksi main cegat, sikat, ataupun merampas kendaraan di jalan tanpa melewati mekanisme yang berlaku”, tegas Gilang kepada awak media.

Lanjutnya, dalam pasal 21 aturan tersebut, dijelaskan bahwa pemberi fidusia dapat mengalihkan benda persediaan yang menjadi objek jaminan fidusia dengan cara dan prosedur yang lazim dilakukan dalam usaha perdagangan.

Ketentuan itu tidak berlaku jika telah terjadi cidera janji oleh debitur dan atas pemberi fidusia pihak ketiga.

“Benda yang menjadi objek jaminan fidusia yang telah dialihkan wajib diganti oleh pemberi fidusia dengan objek yang setara. Dalam hal pemberi fidusia cidera janji, maka hasil pengalihan dan atau tagihan yang timbul karena pengalihan, demi hukum menjadi objek jaminan fidusia pengganti dari objek jaminan fidusia yang dialihkan,” bunyi ayat (3) dan (4) UU Fidusia, tegas Gilang, Jum’at (25/2) di kantornya.

Aturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga sudah melarang keras debt colector Pelaku Usaha Jasa Keuangan (PUJK) menggunakan kekerasan saat menagih utang. Hal itu diatur dalam Peraturan OJK Nomor 6 Tahun 2022 tentang Perlindungan Konsumen dan Masyarakat di Sektor Jasa Keuangan, terang pengacara muda ini.

Debt collector dalam menjalankan proses penagihan dilarang keras melakukan 3 hal yakni mengancam, melakukan tindakan kekerasan yang bersifat mempermalukan, serta memberikan tekanan baik secara fisik maupun verbal, lanjutnya.

Jika dilanggar, maka debt collector dikenakan sanksi hukum pidana. Sementara untuk PUJK yang menjalin kerja sama dengan debt collector itu bisa dikenakan sanksi oleh OJK berupa sanksi administratif antara lain peringatan tertulis, denda, pembatasan kegiatan usaha, hingga pencabutan izin usaha, tuturnya.

Dalam proses penagihan, debt collector juga wajib membawa dokumen. Mulai dari kartu identitas, sertifikat profesi di bidang penagihan, surat tugas dari perusahaan pembiayaan, bukti dokumen debitur wanprestasi, salinan sertifikat jaminan fidusia.

“Seluruh dokumen tersebut digunakan untuk memperkuat aspek legalitas hukum dalam proses penagihan pinjaman sehingga mencegah terjadinya dispute,” pungkas Gilang.

Sebelumnya, Dirbinmas Polda Sumsel Kombes Pol Sofyan hidayat SIK, melalui Kasibinturmas Subdit Bintibsos Kompol Suhardiman SH MH menyampaikan, bahwa dasar-dasar prosedur penarikan jaminan fidusia oleh pihak kreditur itu UU no.42 tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia; POJK no.35 / POJK 05 / 2018; No.18/PPU-XVII/2019; No.2/PPU-XIX/2021; dan No.71/PPU-XIX/2021.

Suhardiman melanjutkan, perusahaan lising ini memang bisa menarik, namun tidak dengan kekerasan.

“Kalau orangnya (debitur) tidak memberi kendaraan itu ya tidak bisa. Itu dilaporkan ke pengadilan, biar pengadilan yang memutuskan, untuk disita atau bagaimana,” kata dia, Kamis (23/2/2023).

Tapi, ungkap Suhardiman, bila perusahaan lising yang menggunakan jasa debt collector seperti yang viral di Jakarta beberapa hari lalu itu, sebenarnya sudah masuk ranah pidana.

“Karena ada ancaman dan si pemilik mobil tidak rela. Karena di bawah ancaman tersebut dan diambil paksa oleh kolektor yang itu tadi pasalnya 365 (pencurian dengan kekerasan) atau 368 (pemerasan),” ungkap dia.

Eksekusi oleh pihak kreditur, jelas Suhardiman, dapat dilakukan dengan syarat seperti, adanya akta jaminan fidusia yang dibuat oleh dan di hadapan notaris. Kemudian, sertifikat fidusia yang dikeluarkan oleh kantor fidusia, adanya kesepakatan tentang cidera janji.

Berikutnya, bukti debitur cidera janji (nunggak cicilan), sertifikasi bagi petugas eksekusi yang dikeluarkan oleh pihak yang ditunjuk Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI).

“Lalu, adanya kerelaan atau sukarela dari debitur untuk menyerahkan jaminan fidusia. Serta, apabila debitur tidak sepakat, masih ada alternatif penyelesaian sengketa/masalah lewat jalur hukum/(penetapan pengadilan terlebih dahulu),” jelas dia.

Lebih jauh Suhardiman menerangkan, terkait persyaratan penggunaan external dalam jaminan eksekusi jaminan fidusia ini yaitu, adanya perjanjian tertulis antara pihak finance dengan pihak external. Perusahaan jasa penagih harus memiliki legalitas yang jelas, dan perusahaan jasa penagih harus memiliki karyawan yang bersertifikasi yang dikeluarkan oleh Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia.

“Jika hal ini tidak ada, maka kreditur harus mengajukan penetapan ke Pengadilan Negeri sebelum eksekusi dilakukan. Artinya pihak eksekutor tidak boleh memaksa bila debitur keberatan, apabila tetap dilakukan maka dapat diklasifikasikan sebagai perbuatan melawan hukum,” tandas dia.

error: Maaf Di Kunci