banner 728x250

Abdul Aziz : Empat Poin Rekomendasi Revisi Perda Pilkades Muratara

MURATARA, Beligatupdate.com – Pada prinsipnya, Revisi Perda No 3 Tahun 2015 merupakan suatu keharusan yang dilakukan demi penyempurnaan penyelenggaraan Pilkades secara serentak di periode kedua pada tahun 2017.

Namun revisi tersebut tidak terlepas dari evaluasi penyelenggaraan Pilkades secara serentak periode Pertama pada tahun 2016 lalu sehingga Revisi Perda No 3 tahun 2016 harus betul-betul dicermati dalam pembentukan Produk Hukum Daerah dan pengaturan norma hukum baik secara formil maupun secara materil.

Ketua Pusat Kajian Politik dan Hukum ( Pusakum ) Silampari, Abdul Aziz. Foto/Doc. Abdul Aziz

Ketua Pusat Kajian Politik dan Hukum ( Pusakum ) Silampari, Abdul Aziz mengatakan bahwa secara Formil didalam pembentukanya produk hukum daerah harus mengacu kepada UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan Permendagri No 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah, ( 11/07 ).

Secara materil harus melakukan telaah aturan hukum yang lebih tinggi sesuai dengan asas herarki peraturan perundang-undangan, dalam hal ini yang perlu di cermati adalah UU No 6 Tahun 2014 Tentang Desa, Peraturan Pemerintah (PP) No 43 Juncto Peraturan Pemerintah 47 Tahun 2014, serta Permendagri No 112 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Kepala Desa.

“Sebagai pihak yang ikut berpartisipasi dan memperhatikan dinamika Pilkades secara serentak 2016 maka kami memberikan beberapa masukan di dalam Revisi Perda No 3 Tahun 2015 sebagai bentuk pertanggung jawaban moral serta sumbangsi keilmuan kepada daerah yang kita bangga yakni Daerah Otonomi Baru (DOB) Muratara,” kata Abdul Aziz.

Diterangkannya, ada beberapa masukan yang perlu pihaknya sampaikan di dalam Revisi Perda No 3 tahun 2015 antara lain:

Pertama, Dalam penyelenggaran Pilkades secara serentak tahun 2016 terdapat Pertentang Norma Hukum antara Permendagri, Perda dan Perbub sehingga hal tersebut menjadi persoalan yang menimbulkan konflik sebagai mana yang terjadi di Pilkades Desa Lubuk Kemang.

Di dalam Revisi ini perlu dilakukan Singkronisasi Norma Hukum dan Kajian yang mendalam terhadap hearki peraturan perundang-undangan sehingga pembentukan Produk Hukum Daerah tidak menjadi penyebab utama memunculkan Konflik. Peristiwa Revisi Perbub secara kilat sebagaimana terjadi di Pilkades 2016 yaitu Revisi Perbub No 18 Tahun 2016 menjadi Perbub No 52 Tahun 2016 tidak terjadi kembali.

Kedua, mengenai larangan yang dilakukan Calon Kepala Desa yang diatur di dalam Perda No 3 Tahun 2015 tidak disertai sangsi, sehingga larangan tersebut tidak mempunyai kekuatan daya ekskutorial yang mengikat atas tindakan dan perbuatan yang dilarang oleh calon kades. Seperti Money Politik yang terjadi pada pilkades 2016 tidak dapat dilakukan sangsi apa pun karena tidak diatur norma hukum nya di dalam Perda maupun Perbub.

Persoalan Money Politik atau pemberian materi lain nya (sembako, dll) harus diatur sangsi nya di dalam Perda atau Perbub, dengan sangsi berat berupa diskualifikasi kepada calon yang melakukan, karena tindakan tersebut adalah tindakan yang merusak demokrasi serta mencerderai kehidupan berbangsa dan bernegara yang menjadi penyakit dalam era demokrasi langsung yang sedang kita bangun.

Ketiga,Dalam penyelesaian perselisihan perlu di bentuknya team Ad Hoc atau team independen di dalam Pilkades serentak yang keanggotaannya tidak hanya dari Unsur PNS saja untuk menghindari konflik kepentingan.

Team Ad Hoc atau team independen di bentuk dalam dua tingkatan, tingkat kecamatan dan tingkat kabupaten. Penyelengaraan perhelatan demokrasi butuh partisipasi publik, sehingga masuk orang-orang berkompeten untuk berpartisipasi. Dalam tahapan Pilkades secara serentak penyelesaian perselisihan adalah tahapan krusial yang menjadi puncak segala proses dan berpotensi memicu konflik.

Oleh karena itu kita perlu memiliki formula yang tepat untuk mengatasi hal tersebut yang diatur didalam regulasi hukum sebagai produk hukum daerah. Sudah sangat tidak relevan ketika kita masih memakai konsep lama zaman orde baru, kepanitian mempunyai tiga fungsi yakni fungsi kepanitian itu sendiri, fungsi pengawasan dan fungsi penyelesaian perselisihan ( non litigasi).

Keempat, Badan Perwakilan Desa (BPD) di fungsikan untuk bertanggung jawab penuh dalam proses penyelenggaraan bersama kepanitian yang di bentuk tidak menjadi bagian dari berfungsi untuk penyelesaian perselisihan ( non litigasi) karena hal tersebut tidak efektif dan memicu memperlebar konflik horizontal di tingkatan desa.

“Demikianlah rekomendasi dan gagasan secara tertulis kami sampaikan atas revisi Perda No 3 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pencalonan, Pemilihan, Pelantikan dan Pemberhentian Kepala Desa,”pungkasnya.(Febri/Reki/Red)

error: Maaf Di Kunci